The Magi

By William Butler Yeats (1916)

Now as at all times I can see in the mind’s eye,
In their stiff, painted clothes, the pale unsatisfied ones
Appear and disappear in the blue depth of the sky
With all their ancient faces like rain-beaten stones,
And all their helms of silver hovering side by side,
And all their eyes still fixed, hoping to find once more,
Being by Calvary’s turbulence unsatisfied,
The uncontrollable mystery on the bestial floor.

Read more of this post

Tetap Tak Tahu

By Shinta Miranda

resahkita di sini memang tak pernah alami musim semi
seperti di negeri para leluhur yang dikenal dari cerita
kita cuma tahu musim penghujan yang pasti memberi air
sampai banjir dari hulu ke hilir yang kita namakan rezeki

kita pernah bersembahyang pada sebuah meja abu besar
bertingkat tiga berlapis sutera merah dan kuning keemasan
berkumpul dari yang tertua sampai yang termuda di hari sama
menyantap makanan yang hanya dimasak setahun sekali saja

kita tetap lakukan itu meski berpuluh tahun tak lagi sama
ada yang hilang karena telah mengenal agama yang dibaku
oleh sebuah keharusan dan pengakuan supaya hidup di tempat ini
bisa membuat kita jadi pelaku yang sah dan singkirkan kesah resah

Read more of this post

Negri Entah Tak Bertuan…

By Ira Ginda

heiy.. sosok bangku tegak tak duduk…
tetap sapa sesiapa yang tunjuk menunjuk
tubuh kokoh mu lurus tak berbentuk
tiga kurawa berbalik searah telunjuk
terbisanya hanya dengan mengutuk
cakrawibawamu tak pernah tunduk

heiy.. raga rumput teki tak bernurani
kemanakan jejak sejarah ranah negri kami
gonggongan anjing dikebiri pun kan mati
makan memakan rusuk basa basi hati
rebutan umpan busuk cacing pita babi

badut dasi berjas resmi tetaplah badut
dengan riasan mimik tebal pun akut
mereka tak pernah takut akan maut
walau kelakuan cuma sedikit yang patut
ketokan palu pertanda manut tuk ikut
perjamuan lingerie sampai giro tersangkut
cagar budaya harta milik pun terangkut
pundi-pundi agroekonomi pun habis dan bangkrut

Read more of this post

Surat Terbuka Buat Sahabatku: Kekasih Langit

By Mayoko Aiko

Sahabatku: Kekasih Langit…

Aku mengenalmu, jauh sebelum mereka mengenalmu…
Aku mengenalmu, bahkan saat matahari pagi belum sempat menghangatkan hatimu…
Aku mengenalmu saat kau menyaksikan hancurnya kerikil menjadi debu-debu yang halus…
Aku menyaksikanmu saat kau menyaksikan, gunung-gunung batu terempas oleh lembutnya tiupan angin…

Kamu adalah penyaksi, tentang derita
Karena kamu adalah derita itu sendiri…

Sahabatku: Kekasih Langit…

Bukankah hidup adalah pemaknaan,
pemaknaan tentang: bagaimana kita berguna buat diri kita, anak-anak kita, saudara-saudara kita dan orang-orang di sekitar kita?

Read more of this post

Puisi-puisi Lies Soca

kepada adinda
: dina indriani

fajarluput mengalungkan peluk
di awal harimu berseragam abu-abu
adalah hangusnya hari ini
ku sebagai fajar di ufuk timurmu

maaf, semalam Yunda terendam
dalam kubang malam tuna netra

duhai Mayangku…..
suntingan mashlahat

tumbuh pesatlah di jalan merdeka
di depanku

Yunda akan pangling
kalbumu mengandung benih-benih kesuburan
tertanam di setiap hati
jalan pandir dan munkar insyaf
Ayah-Bunda berhak bersemi

————

ta’aruf dengan insomnia

malam…
jangan pernah menjadi perempuan
aku ingin mencintaimu
sebab dia tak layak

————

Tekad rindu pada pengarungan nasib

bangun tidur aku berjanji pada pintu dan jendelamu
takkan mengetuknya lagi
karena rinduku saja
yang datang menumpangi angin
mengusap dan mendekapmu hingga menggigil
mustahil kau sanggup mengusir

————
Yogyakarta, 12 Juli 2009

Lies Soca. Tinggal di Yogyakarta, Sarjana Ilmu Komunikasi. Menulis, dengan beberapa karya cerpen dan cerma pernah dimuat di koran Minggu Pagi. Berkesenian; teater, musik, dan film indie. Teater sedang berproses di Teater Tangga UMY, Teater Sua, Teateraphy ISI, dan memulai di Yayasan Bagong Kussudiarjo. Musik sedang berproses di kelompok musik puisi WAJAR AKUSTIK (sebagai vokalis dan penulis syair), dan musik puisi SABU dengan pak Untung Basuki (sebagai vokalis). Film Indie sedang berproses film TOPAN, dan film musical tentang WAJAR AKUSTIK. Masih terus berjuang untuk belajar menulis yang sangat tidak mudah, namun memberi candu..!

(Sumber: kompas.com)

“maafkan ayah, nok”

By Febby Sahla

Maafkan aku TuhanMalam ini…, purnama begitu cantik menghias langit, setelah senja tadi gerimis membasahi…, seolah ingin sedikit memberi kesejukan di tiap hati…
Seperti hari kemarin, selalu ingin ku ketuk pintu Rabb ku dengan seok langkahku… Begitu menjadi pentingkah sebuah pernyataan yg sejatinya hanya antara sesama mahluk Mu… Dan.., aku tak pernah lelah menunggu, mencari, dan mengeja arti pesan di balik kata itu…

Malam pekat, waktu terasa kian mencekat tapi aku tahu suatu hari akan ku dapat, sebuah jawaban tepat dan tak ada keraguan ku dapat.
“Maafkan Ayah, nok”… Ya Rabbi, apa makna kalimat ini? kian hari kian terasa menyesak di hati. Seorang yang begitu berarti dalam hidup, yang menjadi inspirasi dan motivator.., berulang kali ucapkan kalimat itu padaku. Dan hanya harap ikhlas terlontar agar aku tegar, tegar, tegar… dan tegak menapak jalan hidup yang makin tak enak…

mencari TuhanAku tak kan lelah mencari arti kalimat itu meski dengan keterbatasanku… Seperti begitu sayangnya engkau padaku.., aku ingin jiwamu yang telah terpisah ruang dan waktu sesekali datang mengunjungiku… Aku tahu, engkau dulu paling tahu tentang aku, tentang betapa keras kepalanya aku.., bagaimana aku diam saat masalah bertubi-tubi mendera.., dan sedikit tertawaku meski bahagia sedang datang menyelimutiku…

“Maafkan nok, bila mengecewakan mu, Yah,” ahh… seperti masih ada sosokmu disampingku dan begitu terngiang ucapan saat kau genggam tanganku dalam kelemahanmu, “…karena gw gak cuma bapak loe, tapi gw sahabat, gw kawan… gw tau bagaimana loe betul2 sembunyiin rahasia hati loe dari gw, nok.” Duh Gusti Allah… hamba mohon ampun…

Febby Sahla. Tinggal di Semarang.

Sajak-sajak M Aan Mansyur

Sajak-sajak yang lahir dari Foto karya Jamie Baldridge

Vox Dei, Third Movement

Jamie Baldridge Photos2Rambutmu yang harum mengenakan bando biru-haru
dan tubuhmu lebih putih dari gaun yang membalutnya

Di hadapan alat pemutar musik tarianmu habis gerak
dan burung-burung beterbangan dari lagu yang murung

Semata lantai bermotif lapangan catur yang paham
mengapa kesunyian tiba-tiba lahir dari keriuhan itu

Adakah telah berdatangan masa lampau di pagi hari
yang berwarna matahari senja atau lampu yang rabun?

Musik tak hendak berhenti bahkan saat engkau bergerak
hendak menangkap sunyi yang mengendap ke luar jendela

Aku tak sedang berada di situ saat itu, hanya masa lampau

——————–

On Reading Ovid

Jamie Baldridge PhotosTubuhmu telanjang tetapi berada di luar peti mati
yang mengangkut pikiran-pikiranmu yang mayat

(Akan ada banyak mitos turut dimakamkan)

Dari langit-langit ruanganmu neon jatuh menimpa
kepalamu namun sungguh tak ada cahaya yang pecah

Seperti dua payudaramu yang mencintai anak-anak
yang entah dimana bisa kau temukan bibir tangisnya

Tubuhmu telanjang tetapi berada di luar peti mati
yang mengangkut pulakah kenangan tentang aku?

Makassar, 2009

M. Aan Mansyur lahir di Bone, Sulawesi Selatan, 14 Januari 1982. Kumpulan puisinya adalah Hujan Rintih-rintih (2005), Aku Hendak Pindah Rumah (2008) dan Cinta yang Marah (2009).
Disarikan dari Kompas Minggu.

Sajak WS Rendra

Doa di Jakarta

Tuhan yang Maha Esa,
alangkah tegangnya
melihat hidup yang tergadai,
fikiran yang dipabrikkan,
dan masyarakat yang diternakkan.

Malam rebah dalam udara yang kotor.
Di manakah harapan akan dikaitkan
bila tipu daya telah menjadi seni kehidupan?
Dendam diasah di kolong yang basah
siap untuk terseret dalam gelombang edan.
Perkelahian dalam hidup sehari-hari
telah menjadi kewajaran.
Pepatah dan petitih
tak akan menyelesaikan masalah
bagi hidup yang bosan,
terpenjara, tanpa jendela.

Tuhan yang Maha Faham,
alangkah tak masuk akal
jarak selangkah
yang bererti empat puluh tahun gaji seorang buruh,
yang memisahkan
sebuah halaman bertaman tanaman hias
dengan rumah-rumah tanpa sumur dan W.C.
Hati manusia telah menjadi acuh,
panser yang angkuh,
traktor yang dendam.

Tuhan yang Maha Rahman,
ketika air mata menjadi gombal,
dan kata-kata menjadi lumpur becek,
aku menoleh ke utara dan ke selatan –
di manakah Kamu?
Di manakah tabungan keramik untuk wang logam?
Di manakah catatan belanja harian?
Di manakah peradaban?
Ya, Tuhan yang Maha Hakim,
harapan kosong, optimisme hampa.
Hanya akal sihat dan daya hidup
menjadi peganganku yang nyata.

(Sumber: kompas.com)

Sajak WS Rendra

Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta

rendra1Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Dari kelas tinggi dan kelas rendah
Telah diganyang
Telah haru-biru
Mereka kecut
Keder
Terhina dan tersipu-sipu

Sesalkan mana yang mesti kausesalkan
Tapi jangan kau lewat putus asa
Dan kaurelakan dirimu dibikin korban

Wahai pelacur-pelacur kota Jakarta
Sekarang bangkitlah
Sanggul kembali rambutmu
Karena setelah menyesal
Datanglah kini giliranmu
Bukan untuk membela diri melulu
Tapi untuk lancarkan serangan
Karena
Sesalkan mana yang mesti kau sesalkan
Tapi jangan kaurela dibikin korban

Sarinah
Katakan kepada mereka
Bagaimana kau dipanggil ke kantor menteri
Bagaimana ia bicara panjang lebar kepadamu
Tentang perjuangan nusa bangsa
Dan tiba-tiba tanpa ujung pangkal
Ia sebut kau inspirasi revolusi
Sambil ia buka kutangmu

Dan kau Dasima
Khabarkan pada rakyat
Bagaimana para pemimpin revolusi
Secara bergiliran memelukmu
Bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi
Sambil celananya basah
Dan tubuhnya lemas
Terkapai disampingmu
Ototnya keburu tak berdaya

Politisi dan pegawai tinggi
Adalah caluk yang rapi
Kongres-kongres dan konferensi
Tak pernah berjalan tanpa kalian
Kalian tak pernah bisa bilang ‘tidak’
Lantaran kelaparan yang menakutkan
Kemiskinan yang mengekang
Dan telah lama sia-sia cari kerja
Ijazah sekolah tanpa guna
Para kepala jawatan
Akan membuka kesempatan
Kalau kau membuka kesempatan
Kalau kau membuka paha
Sedang di luar pemerintahan
Perusahaan-perusahaan macet
Lapangan kerja tak ada
Revolusi para pemimpin
Adalah revolusi dewa-dewa
Mereka berjuang untuk syurga
Dan tidak untuk bumi
Revolusi dewa-dewa
Tak pernah menghasilkan
Lebih banyak lapangan kerja
Bagi rakyatnya
Kalian adalah sebahagian kaum penganggur yang mereka ciptakan
Namun
Sesalkan mana yang kau kausesalkan
Tapi jangan kau lewat putus asa
Dan kau rela dibikin korban
Pelacur-pelacur kota Jakarta
Berhentilah tersipu-sipu
Ketika kubaca di koran
Bagaimana badut-badut mengganyang kalian
Menuduh kalian sumber bencana negara
Aku jadi murka
Kalian adalah temanku
Ini tak bisa dibiarkan
Astaga
Mulut-mulut badut
Mulut-mulut yang latah bahkan seks mereka politikkan

Saudari-saudariku
Membubarkan kalian
Tidak semudah membubarkan partai politik
Mereka harus beri kalian kerja
Mereka harus pulihkan derajat kalian
Mereka harus ikut memikul kesalahan

Saudari-saudariku. Bersatulah
Ambillah galah
Kibarkan kutang-kutangmu dihujungnya
Araklah keliling kota
Sebagai panji yang telah mereka nodai
Kinilah giliranmu menuntut
Katakanlah kepada mereka
Menganjurkan mengganyang pelacuran
Tanpa menganjurkan
Mengahwini para bekas pelacur
Adalah omong kosong

Pelacur-pelacur kota Jakarta
Saudari-saudariku
Jangan melulur keder pada lelaki
Dengan mudah
Kalian bisa telanjangi kaum palsu
Naikkan tarifmu dua kali
Dan mereka akan klabakan
Mogoklah satu bulan
Dan mereka akan puyeng
Lalu mereka akan berzina
Dengan isteri saudaranya.

Puisi terkait dapat dilihat juga pada bLog kembaran di:
http://storiesfromtheroad.freeweb7.com

Penyengat

By Acep Zamzam Noer

Namamu yang terpahat pada marmar hitam
Hurup-hurupnya kembali kueja. Sebuah kaligrafi tua
Samar-samar tak terbaca

(kompas, 2/8)