And, England also Singing

By Abun Sanda

The BeatlesOne of the legendary song The Beatles, flowing melodic “Yesterday” at the mall Westfield, London, Thursday, 8 August, 2012 afternoon. The song was sung by thousands of singers and they are paid millions of pounds for The Beatles, did not play very loud voice. But still able to cope with boisterous mall noisy voice.

Known, the mall adjacent to the Olympic Park, London Olympic 2012 main stadium is the hustle and bustle because most athletes, officials and spectators of the Olympic games, there cornucopia. Be the mall that can accommodate 300.000 of visitors, crammed with people around the world.

Mal looks hectic because British citizens are celebrating the success of their team sitting third in the Olympic games, which stood at 22 gold. Gold will still rise as the world’s biggest sporting event will still take several days. When “Yesterday” is heard, some of them seemed to sing along with gusto.

Read more of this post

Cerita – Jodhi Yudono

“Cerita Buat Mirna…”

gadisPada sepotong bambu, lelaki itu menuliskan kata-katanya dengan sebilah pisau yang dipanggang pucuknya. Lalu diletakkannya potongan bambu itu di bawah pohon jati tua, tempat lelaki itu dan kekasihnya biasa bertemu. Inilah Mir, tulisan lelaki itu,

aku mengapung di telagamu
mendung pun gugurkan hujan
angin bertiup menuju tenggara
aku terjebak di gelisah matamu
mabuk aku oleh pesonamu
cintaku tak habis di makan waktu, di makan waktu

Begitulah kata-kata terakhir lelaki itu. Menurut seorang wanita pencari daun jati yang berpapasan dengannya di sebuah simpang jalan setapak, lelaki itu pergi bersama angin, menuju Tenggara.

Semenjak itu, Mir, tiada ada lagi kabar mengenai lelaki itu. Pun ketika gadis cantik yang dikenal orang sebagai kekasihnya menyusul ke arah Tenggara yang berujung di sebuah lautan, tak dijumpainya jejak kaki lelaki itu di sana.

Read more of this post

Ikut “Tour de Sex” Yuk.., Biar Kagetnya Barengan…

By Rudie Sape

Adalah Andi Syukri awalnya yang memberitahu mengenai Mariska Lubis. (Catatan: Lihat salah satu tulisan Mariska Lubis kLik disini…)
Mbakyu yang satu ini, luar biasa gaulnya. Itu menurut saya.

Saya jadi cepat pulang kampung ke kompasiana gara gara Mariska.
Tulisan Mariska di kompasiana banyak dibaca dan dikomentari macam macam ada yang geleng geleng dan ada yang senang minta ampun.

Saya tanya ke Mariska, dulu ikutan KOKI dong.
Eh dia malah tanya, apaantu Koki Om katanya.
Hehe. Memangnya selama ini main kemana saja kok tidak tahu KOKI.

Saya kasih tahu kalau KOKI adalah kolom Kompas yang juga banyak tulis mengenai esek esek antara lain ditulis oleh La Rose dan sekarang sudah tidak ada lagi
O, itu saya mah mainnya cuma di MH, katanya, hehe
Read more of this post

Juru Dakwah…?? Qo Banyak yang Bodoh Ya…!

By Lukas Adi Prasetya

Pengasuh Ponpes Rudlotul Fatihah, Bantul, KH Muhammad Fuad Riyadi (38), gerah melihat semangat Islam disampaikan hanya secara sepotong-potong oleh para juru dakwah Islam. “Juru dakwah banyak yang bodoh. Saya tantang mereka memahami Islam,” kata Kyai Fuad.

dakwahIa melihat bahwa yang disampaikan juru dakwah di masjid, di televisi, dan di mana saja sudah melenceng dari semangat Islam, agama yang seharusnya memberi kesejukan, ketentraman, kedamaian bagi siapa saja, tak hanya umat Islam, tetapi semua orang non-muslim, termasuk mereka yang ateis sekalipun.

Dengan kata lain, jika apa yang dikatakan juru dakwah membuat umat nonmuslim waswas, merasa terancam, dan tak nyaman, maka itu sudah cukup memberikan gambaran bahwa dakwah yang dilontarkan juru dakwah sudah tak lagi Islami. Ini fenomena yang menurut dia sudah mulai muncul sejak tahun 1970-an, dan mulai kencang…

Ia banyak memberi kritik tentang kebiasaan dan perilaku umat Muslim. Misalnya memakai pengeras suara sekeras mungkin sehingga umat non-muslim dan muslim pun sama-sama terganggu, juga rangkaian acara puasa yang kemeriahannya berlebihan.

“Juru dakwah, dai-dai itu, maaf, baru memegang satu ayat, tapi ngomong-nya sejuta ayat. Tak heran, sekarang bermunculan radikalisme, seperti aksi sweeping, fundamentalisme, dan hal tak mengenakkan yang mengatasnamakan agama. Peraturan daerah pun digiring menjadi bernuansa Islam,” paparnya.

Lihat saja, menurutnya, sekarang banyak yang secara eksplisit dan implisit menyuarakan perlunya Indonesia menjadi negara Islam. “Enggak hanya orang nonmuslim yang ketar-ketir dan cemas. Saya juga takut. Apa Islam di Indonesia seperti itu? Islam adalah agama yang menyuarakan kerinduan pada Allah, bukan agama yang bikin orang lain takut, apalagi menyemai benih permusuhan,” katanya.

“Perlu dicatat, saya hapal ‘Malam Kudus’, lagu rohani umat Katolik saat Natal. Liriknya bagus. Lagunya bagus. Saya suka Natal, gereja. Saya suka semangat Natal, damai di bumi damai di hati. Saya berani katakan, lagu ‘Malam Kudus’ itu lagu Islami,” ujar kyai muda ini.

Tentang Puasa, mestinya umat Islam merefleksikan hal itu seperti umat Hindu merayakan Nyepi. “Mestinya Puasa itu ya nuansanya seperti saat Nyepi. Kita merenung, berdiam, bukan malam ramai,” katanya.

Pengotakan agama mesti dihapus. “Saya justru gembira jika saat zikir bersama, ada teman-teman nonmuslim yang ikut datang. Ikut nggabung. Sering mereka datang ke ponpes saya. Seorang Katolik yang pernah datang pas zikir bilang ke saya, kok dia merasa tenang dan nyaman. Tentu ia masih Katolik. Ketika dia pun merasa damai, tenang, itulah juga sejatinya esensi zikir,” ucap dia.

Kyai ini merasa perlu minta maaf kepada semua umat nonmuslim yang pernah tersinggung dengan perlakuan umat Muslim dan perkataan/perbuatan para juru dakwah. “Saya mohon maaf karena mereka melakukan itu. Mohon dimaklumi,” kata Kyai Fuad.

Kyai ini menggelar lukisan bertema “Aura Dsikir” di Bentara Budaya Yogyakarta. Acara berlangsung dari Sabtu (12/9) hingga Kamis (17/9). Proses pembuatan lukisan dilakukan dengan berzikir terlebih dulu.

Lukas Adi Prasetya. Wartawan “Kompas”.

(Sumber: kompas.com)

Bunga Cinta untuk Teroris..

By Gede Prama

Kebesaran TUHANAda yang serupa dalam cara manusia berespons di muka bumi, yakni mencampakkan hal-hal yang menjengkelkan, berebut hal-hal yang menyenangkan.

Jangankan dalam perang dan perceraian, dalam spiritualitas juga serupa. Tuhan dipuja setan dicerca, orang suci dipuji orang jahat dimaki. Hasilnya dicatat rapi oleh sejarah, berbagai guncangan tidak kian menjauh, malah kian dekat dengan kadar yang semakin menakutkan. Bom teroris, nuklir Korea Utara hanya sebagian bukti.

Bahan pertumbuhan

Amerika Serikat dan George W Bush adalah salah satu guru. Kedigdayaan AS mau menghentikan teroris dengan kekerasan. Dalam usaha ini, terang-terangan menyebut segelintir negara sebagai ”poros setan”. Setelah sekian tahun berlalu, tidak saja teroris kian menyeramkan, Afganistan dan Irak menyedihkan, AS pun mengalami penurunan menakutkan.

Ini memberi pelajaran bermakna. Menyelesaikan kekerasan dengan kekerasan, menghentikan kekejaman dengan kekejaman, serupa dengan menambah bensin pada api membara, makin lama makin berkobar.

Bila boleh jujur, setiap putaran waktu selalu ada penggoda. Yesus digoda Judas, istri Rama dilarikan Rahwana, Shri Krishna terpaksa turun perang karena keserakahan Duryodana, Buddha berkali-kali dicoba dibunuh Devadatta. Rangkaian sejarah ini bercerita, mencoba melenyapkan penggoda tidak saja sia-sia, tetapi juga melanggar hukum alam. Lebih dari itu, tidak ada pertumbuhan tanpa godaan.

Pesan seorang papa kepada putranya, ”Semakin tua umurmu, semakin banyak masalah yang datang. Namun, tolong diingat, persoalan muncul tidak untuk menghancurkan, tetapi untuk membuatmu tambah dewasa.”

Semesta memang semakin tua, akibatnya masalah semakin menumpuk. Namun, hanya tangan kebijaksanaan yang bisa mengolah persoalan menjadi berkah pertumbuhan. When sorrow invades the mind, compassion arises. Saat kegelapan kesedihan mengguncang, ia tidak mengundang kegelapan kemarahan, tetapi memunculkan cahaya kasih sayang.

Di salah satu majelis taklim di Jakarta pernah terdengar pesan indah, ”Sahabat-sahabat yang keras dan ganas itu jangan dijauhi. Harus ada yang mendekati, menyayangi, mencintai mereka. Terutama agar mereka keluar dari lingkaran gelap kekerasan”.

Undangan kebijaksanaan itu sungguh menyejukkan, sekaligus memberi masukan, masih banyak tersisa wajah yang sejuk, teduh, dan memayungi.

Seorang kakek mengelus cucu yang sedang marah dan sedih sambil berucap lembut: ”Sesakit apa pun tubuhmu, seberat apa pun beban jiwamu, ingatlah manusia tidak pernah menjadi musuh kita. Musuh sesungguhnya adalah kesalahpahaman.”

Bermesraan

Coba perhatikan para teroris, mereka dibikin oleh sepasang orangtua yang berpelukan dan bermesraan. Didoakan orangtua agar menjadi manusia berguna. Bertumbuh di sekolah yang mengajarkan kebaikan. Berdoa di tempat ibadah yang mendoakan keselamatan. Namun, karena berbagai hal yang tak sepenuhnya dimengerti, mereka diselimuti sejumlah awan kesalahpahaman. Dan awan ini tak menjadi hasil kerja mereka seorang diri.

ketidakadilanKetidakadilan tatanan dunia, pemberitaan yang penuh kekerasan, pemerintah yang tidak sepenuhnya terkelola, sekolah yang menakutkan, keluarga yang mengalami keruntuhan, miskinnya keteladanan tokoh, iklan yang terus menggoda nafsu, hanyalah sebagian jejaring yang menggiring mereka masuk terowongan gelap kesalahpahaman. Mencaci mereka hanya akan mempertebal kesalahpahaman.

Dalam bingkai pemahaman seperti ini, tidak adil bila menempatkan teroris sebagai terdakwa yang hanya layak disalahkan. Menyadari pendidikan, pergaulan, dan pemahaman agama para teroris yang terbatas, mereka lebih layak disebut ”korban” kesalahpahaman dibandingkan menjadi ”penyebab” kesalahpahaman.

Serupa dengan seseorang yang amat marah kepada lalat yang masuk rumahnya, sementara rumahnya penuh kotoran menjijikkan. Sebenarnya dengan semua kekerasan dan kekisruhan yang ditimbulkan, umat manusialah yang mengundang kekerasan teroris. Padahal, bila rumahnya bersih dan wangi, otomatis lalatnya menghilang.

Untuk itulah, setelah kekerasan tak kunjung pergi dengan jalan memaki-maki teroris, mungkin ini saatnya membersihkan rumah keseharian. Meminjam bahasa tetua, orang baik terlihat baik, orang jahat pun terlihat baik, bila kita di dalamnya cukup baik.

Seorang pertapa berkali-kali menggigil menangis saat bom teroris meledak, mendengar suara guru di dalam, ”Bawa orang-orang pulang. Kebencian, kemarahan, apalagi kekejaman bukan rumah sebenarnya. Rumah jiwa adalah cinta dan keikhlasan”. Ini mengingatkan kisah Nabi Nuh. Kendati tempat tinggalnya padang pasir tak berair, ia ikuti suara saat diminta membuat perahu.

Diterangi cahaya spiritual seperti ini, mungkin layak dipertimbangkan mengirim bunga cinta bagi teroris. Bagi pemimpin dan tokoh, hati-hatilah karena menjadi teladan yang ditiru. Bagi para guru (terutama guru agama), ajarkan wajah agama yang indah di awal, di tengah, dan di akhir. Bagi orangtua, sayangi putra-putri di rumah. Bagi sahabat media, wartakan kelembutan. Pengelola televisi, tayangkan gambar-gambar yang bisa membangunkan energi kasih dalam diri manusia. Itulah sebagian contoh mengirim rangkaian bunga cinta untuk mereka yang berpotensi menjadi teroris pada masa depan.

Mengirim bunga cinta kepada pihak-pihak yang berpotensi menyakiti adalah bukti rumah batin sudah bersih sekaligus jernih. Dengan batin seperti inilah kita songsong masa depan yang lebih membahagiakan. Mistikus sufi Jalaludin Rumi menulis, hidup seperti tinggal di losmen, tiap hari ganti tamu. Siapa pun tamunya (senang-sedih, suka-duka), jangan lupa tersenyum.

—————–

Gede Prama. Penulis Buku “Sadness, Happiness, Blissfulness: Transforming Suffering Into The Ultimate Healing”.
Tulisan lain dapat di- kLik disini…

“maafkan ayah, nok”

By Febby Sahla

Maafkan aku TuhanMalam ini…, purnama begitu cantik menghias langit, setelah senja tadi gerimis membasahi…, seolah ingin sedikit memberi kesejukan di tiap hati…
Seperti hari kemarin, selalu ingin ku ketuk pintu Rabb ku dengan seok langkahku… Begitu menjadi pentingkah sebuah pernyataan yg sejatinya hanya antara sesama mahluk Mu… Dan.., aku tak pernah lelah menunggu, mencari, dan mengeja arti pesan di balik kata itu…

Malam pekat, waktu terasa kian mencekat tapi aku tahu suatu hari akan ku dapat, sebuah jawaban tepat dan tak ada keraguan ku dapat.
“Maafkan Ayah, nok”… Ya Rabbi, apa makna kalimat ini? kian hari kian terasa menyesak di hati. Seorang yang begitu berarti dalam hidup, yang menjadi inspirasi dan motivator.., berulang kali ucapkan kalimat itu padaku. Dan hanya harap ikhlas terlontar agar aku tegar, tegar, tegar… dan tegak menapak jalan hidup yang makin tak enak…

mencari TuhanAku tak kan lelah mencari arti kalimat itu meski dengan keterbatasanku… Seperti begitu sayangnya engkau padaku.., aku ingin jiwamu yang telah terpisah ruang dan waktu sesekali datang mengunjungiku… Aku tahu, engkau dulu paling tahu tentang aku, tentang betapa keras kepalanya aku.., bagaimana aku diam saat masalah bertubi-tubi mendera.., dan sedikit tertawaku meski bahagia sedang datang menyelimutiku…

“Maafkan nok, bila mengecewakan mu, Yah,” ahh… seperti masih ada sosokmu disampingku dan begitu terngiang ucapan saat kau genggam tanganku dalam kelemahanmu, “…karena gw gak cuma bapak loe, tapi gw sahabat, gw kawan… gw tau bagaimana loe betul2 sembunyiin rahasia hati loe dari gw, nok.” Duh Gusti Allah… hamba mohon ampun…

Febby Sahla. Tinggal di Semarang.

Harta TERBESAR

By Anak Bangsa Dari Timur

harta kekayaanSeringkali orang mengidentikkan harta terbesar itu mempunyai kekayaan yang banyak. Baik berupa emas, perhiasan, kendaraan, rumah, dan sebagainya. Padahal semua kekayaan tersebut merupakan bagian luar dari harta yang terbesar. Harta yang melimpah tidak menjamin kebahagiaan, keselamatan, kesehatan terhadap diri kita. Juga tidak akan mungkin bisa kita nikmati semuanya sampai habis.

Orang selalu berpikir apa yang ada di luar diri kita, yang terlihat dan terasa oleh indera kita, itulah harta. Kita tidak menyadari bahwa “diri” kita merupakan harta. Dan harta yang terbesar terletak pada “pikiran” kita. Dengan segala yang ada pada diri kita, segala bentuk kekayaan dapat terbentuk.

Manusia yang selalu berpikir, akan leluasa membentuk diri dan lingkungannya. Manusia telah diciptakan dengan sempurna, mengapa kita tidak bisa mengaktualisasikan kesempurnaan tersebut baik untuk diri maupun lingkungan. Jangan hanya menjadi lilin yang mampu menerangi tetapi akan habis. Jadilah cahaya yang tak pernah padam, yang mampu menerangi diri dan orang lain.

Untuk itu, selalu ingatkan diri kita bahwa “Pikiran kita adalah harta terbesar yang memenuhi kesempurnaan manusia…”

(Bukan nama sebenarnya)

Bercinta dengan Abu

By Putu Nopi Suardani

Aku merasa menjadi wanita cantik! Kenapa?! Karena aku dicintai seorang laki-laki yang sangat aku cintai.

Aku merasa berarti! Karena aku bukan hanya memiliki hati dan jiwa, tapi hati ini juga telah dimilikinya_laki-laki itu.

Aku tidak pernah merasa sepi! Karena aku tidak sendiri.
Aku merasa kuat! Karena aku tidak berdiri di atas sepasang kaki, ada berpasang-pasang kaki.

bercintaAku akan menjadi pengantin yang cantik, karena calon suamiku juga sangat tampan. Aku hanya akan berciuman dengan suamiku. Tapi laki-laki itu–yang menyerahkan cintanya untukku–menciumku. Aku takut. Saking takutnya sampai-sampai lupa bahwa berciuman itu sangat indah. Bibirku sudah tidak perawan lagi. Bibirku sudah tidak manis lagi. Bagiku bibir yang tidak perawan sama saja dengan seluruh tubuhku ternoda. Jiwa, raga, hati, tubuh, dan rasa, semua berlumur dosa. Laki-laki itu harus bertanggung jawab. Dia telah merenggut kesucian bibirku. Aku bersumpah, aku akan menikah dengan laki-laki itu, yang kecupannya masih membekas di bibirku. Aku benar-benar merasa menjadi “wanita” saat dia memelukku. Dadanya hangat dan aku merasa aman di sana.

Aku pernah merasa tidak normal. Terus terang aku tidak tahu bagaimana caranya berciuman yang baik dan benar. Aku hanya diam ketika bibir kami bersentuhan. Ada aksi tapi tak ada reaksi. Aku sama sekali tak bereaksi. Aku ibarat patung wanita, dipahat untuk dicumbui pria. Mataku tertutup rapat saat wajah itu mendekat.

bercinta cinta kekasihSebenarnya aku ingin menatap wajah itu lekat-lekat. Tapi semuanya hanya sekejap. Berciuman itu seolah cepat datang cepat pergi. Aku tak peduli. Yang jelas aku merasa dicintai. Aku akan selalu ingat betapa manisnya saat itu, bermula ketika kakak kelas menyeberang dan naik di angkot yang sama denganku. Aku akan mengingat di toko buku itu, jalan-jalan sempit di pasar itu, di ulang tahun itu, di rumah sakit itu, di SMA itu, dan di saksi-saksi itu. Aku juga ingat hujan dan sore itu.

Aku akan menjadi ibu. Di rahimku ada bayi-bayi mungil. MURI akan mencatat namaku beserta bayi kembar limaku. Sebenarnya aku takut melahirkan. Orang Bali bilang megantung bok akatih. Tapi aku akan melahirkan kelima anak laki-lakiku. Suamiku akan menggenggam tanganku di ruang bersalin. Akan kugigit jariku kalau sakitnya tidak ketulungan. Anak-anakku tampan. Mungkin aku akan kewalahan menyusui lima bayi, tapi jangan sampai mereka tidak mendapat asi. Aku tidak mau susu kaleng meracuni bayi-bayiku. Lalu ayahnya akan bergadang sampai larut malam, menidurkan anak-anak kami.

Aku akan mengandung lagi. Aku ingin punya anak perempuan. Yang matanya sama belonya denganku. Yang rambutnya sama lurusnya denganku. Dan hatinya harus lebih jernih dan lebih bercahaya dariku. Anak-anakku tidak akan kurus-kurus. Aku akan kerja keras sama seperti bagaimana orang tuaku banting tulang demi aku. Anak-anakku akan bersinar, anak-anakku akan menebarkan cinta dan menorah senyum di wajah banyak orang. Anak-anakku, anak-anak suamiku, anak-anak kami adalah anak-anak Tuhan. Aku mau mereka memanggilku Memek, itu permintaan terakhir memekku (ibuku).

Anak-anak kita akan menemukan cinta. Aku akan menceritakan bagaimana aku jatuh cinta. Aku akan merasakan nafasmu pada jiwa anak-anak kita. Akan kubiarkan mereka jatuh cinta dan bagaimana mereka berjuang untuk cinta. Mereka akan kuat.
Suamiku, aku sangat mencintaimu! Seberapa besar, seberapa dalam, kau pasti tahu. Suamiku, anak laki-laki kita pasti mirip denganmu. Matanya sipit, sepertimu. Suamiku, aku tidak lagi menunggu sendirian. Aku dan anak-anak kita menunggumu pulang. Kalau kau sudah datang, jangan lupa ketuk pintu. Kalau bisa teriaklah supaya kami yakin bahwa itu suaramu. Tunggu saja di sana. Kami akan berlari dan menyambutmu di pintu gerbang. Jangan menyuruhku untuk mencintai orang lain. Sekali pun bisa, rasa itu takkan sama. Jagalah hati dan jiwa-jiwa kami.
***
Setra itu penuh orang-orang dengan beragam roman muka. Ada bermuka dua hingga seribu muka. Banyak yang sedih, tapi ada juga yang pura-pura menangis. Aku tidak berekspresi. Tidak menangis, tidak tersenyum, tidak pula tertawa. Tidak ada sisa-sisa air mata yang bisa dikeluarkan lagi. Seperti telaga yang kehilangan airnya. Semua mata tertuju pada satu hal yang sama. Api menjilat-jilat tubuh yang kehilangan ruhnya itu. Tubuh yang kehilangan nafasnya di pangkuanku. Tubuh itu pelan-pelan mengabu.

bercinta kekasih sayangKini di depan mataku tinggal abu. Aku menyaksikan puing-puing laki-laki itu ditebar di lautan, disucikan Hyang Penguasa Alam. Tapi di tanganku masih ada segenggam. Akan kubawa pulang segenggam cintaku. Aku masih ingat bahwa kami adalah segenggam pasir. Jika digenggam terlalu erat maka pasir itu akan menyembur di sela-sela jemari. Jika dibiarkan di atas telapak tangan terbuka, pasir itu lama-lama bisa ditiup angin. Jadi kami akan menjaga pasir itu baik-baik.

Laki-laki itu meninggalkan aku. Sebelum aku sempat menjadi pengantin wanitanya. Sebelum aku sempat melahirkan anak-anaknya. Aku ini bukan janda, tapi aku merasa kehilangan suamiku untuk selamanya. Permintaan terakhirnya, aku harus mencari pengganti dirinya. Aku tidak mau! Dia tidak bisa digantikan oleh apapun dan oleh siapa pun. Aku tidak ingin dikotori orang lain. Aku tidak mau dimiliki orang lain selain suamiku. Dan kini suamiku adalah abu.

Aku menantang angin, membuka kepalan jemariku perlahan. Abu itu kuangkat tinggi-tinggi. Sekiranya angin akan menerbangkannya dariku, sama halnya saat Tuhan mengambil laki-laki itu dariku. Tapi angin itu lebih suka menerbangkan ranting dan daun kering. Haruskah aku berterima kasih, karena satu-satunya yang tidak merenggut serpihan hatiku cuma angin.

Terima kasih. Terima kasih angin. Tolong katakan pada ilalang, aku merestui hubunganmu dengan daun-daun dan akar lapuk itu. Seperti kau merestui abu ini dalam genggamannku. Lalu kureguk abu itu, berpindah dari telapak tangan ke kerongkongan. Biarkan mengalir di pembuluh darahku dan bernafas dengan paru-paruku. Biarkan kami menyatu. Saat itu aku merasa ada dalam dekapan suamiku. Aku tertelungkup di atas aspal bersama suamiku. Kami berpelukan, berciuman.

Kudengar suara ribut-ribut. Orang-orang itu membangunkanku. Salah satu dari mereka membantuku berdiri. Ada ibu tua mengusap-usap wajah dan kepalaku. Ya Tuhan, aku tertidur di jalan raya. Aku masih di depan setra. Tapi orang-orang yang kulihat berbeda dengan wajah-wajah ketika menghadiri pemakaman itu. Mereka baik sekali. Ada yang mengambilkan air minum dan menawarkan untuk mengantarkan pulang.
“Rumah Anda di mana?”
Deg. Seketika aku lupa dari mana aku datang dan lupa jalan pulang.
“Suami Anda di mana??”
Suami? Suamiku? Di mana suamiku??
“Mengapa Anda berjalan sendirian?”
Aku tidak sendirian. Aku bersama Tuhan. Tidakkah kau lihat di sebelahku ada Tuhan.
“Tidak baik wanita hamil berjalan-jalan sendirian. Apalagi sampai pingsan di tengah jala,” kata wanita tua itu mengelus kepalaku.

Hamil? Siapa yang hamil?! Aku masih mahasiswa, bagaimana mungkin hamil.
Kulihat dan kuraba perutku. Perutku besar, aku hamil!. Ya Tuhan, aku hamil?! Ada sepuluh kaki di dalam sana, menendang-nendang. Ya Tuhan, aku mengandung bayi kembar limaku. Tiba-tiba pipiku sudah basah oleh air mata. Kulihat bayangan putih suamiku tersenyum, melambai, menghilang di balik pepohonan.

(Sumber: kompas.com)

Perempuan itu…

By Maud Khan

Sudah dua bulan kutinggalkan rumah ini. Halamannya mulai kotor dipenuhi dedaunan. Lantainya berdebu.

perempuanMeski posisi setiap perabotan tak ada yang berubah— sebab kuyakin tak ada seorang pun yang memasuki rumah ini termasuk pencuri—namun tetap saja terlihat berbeda seakan telah bertahun-tahun tak ditempati. Terlalu lama tak dibersihkan karena tak ada yang merawat selama aku pergi. Tapi entahlah, waktu berjalan teramat cepat, mungkin akibat kesibukanku yang tak terbendung. Sementara itu, hingga sekarang aku masih mejadi seorang yang gila dengan pekerjaan. Dulu sebenarnya sempat ada keinginan untuk mencari pembantu, tapi entahlah, kurasa aku masih bisa menangani rumah ini sendiri.

Di depan rumah ada sebuah toko yang selalu buka tiap pagi higga larut malam. Toko itu tepat menghadap jalan. Intinya toko itu jelas menghadap rumahku. Seringkali aku duduk di pelataran rumah buat menyaksikan pemandangan luaran yang menurutku kacau tapi menyenangkan.

Tapi ternyata bukan kacau itu rupanya yang membuatku makin betah duduk-duduk di pelataran rumah tiap sore, melainkan seorang gadis penjaga toko yang kiranya tak perlu lagi kuceritakan tentang kecantikannya, saat itu.
Mukanya cerah, rambutnya lurus kemerah-merahan, dan ia tak pernah berpenampilan keterlaluan seperti yang sering dilakukan perempuan seumurnya. Jadi menurutku, dia begitu bersahaja.

Read more of this post

Antara Serpihan Dusta (Ada Kejujuran)

By Akbar Syuhada

Sejenak kumelihat kembali wajahku dengan cermin yang telah pecah berserakan di atas lantai kamarku. Terlihat kusut wajah asliku, kotor, kusam, dan penuh peluh yang membanjiri mukaku.

dustaAku sekejap terpana kemudian berlalu, dua puluh dua tahun sudah wajahku terukir dengan kepura-puraan, kesombongan, keangkuhan, kepengecutan, dan kebimbangan serta keputus asaan. Terlihat jelas ukiran itu setiap aku tertawa kemudian aku bertanya pada teman kecilku, “Sudah puaskah dirimu dengan keadaanku sekarang?” kamu terdiam dan hanya melirikku saja.

Kuambil satu cermin lagi yang masih berserakan, kulihat wajahku lagi dengan perlahan. Kamu tersenyum kemudian mendekatiku, ”Ku ingin dirimu yang seperti ini sayang,” rayumu dengan lirih.

Aku tertunduk penuh kesedihan dan bergumam dalam hati, ”Ternyata kau masih seperti yang dulu, sayang.” Dirimu masih mengharapkanku untuk tampil dengan wajah penuh gairah, optimis, keanggunan, wibawa, dan segala yang menyenangkan, agar kamu tidak malu saat berjalan denganku.

Dua puluh dua tahun bukanlah waktu yang sebentar, tapi dirimu masih tidak dapat mengerti tentang diriku. Dua puluh dua tahun juga bukan waktu yang lama, namun dirimu semakin menggila saja tak bisa menghargaiku. Kamu lebih suka diriku yang rapi, wangi, sisiran, modis ketimbang aku yang gondrong, kutuan, jarang mandi, tatoan, yang sebenarnya itu adalah diriku yang sesungguhnya, tapi…tapi kamu memang tidak mau mengerti AKU !!!

Masih kupandangi diriku di cermin, sejenak ku mencoba untuk palingkan mukaku darimu, namun tanganmu terus menekan kepalaku untuk melihat wajahku tadi. Aku mulai muak dengan tingkahmu yang semakin tidak bisa menghargaiku, kemudian kubanting kedua cermin yang kupegang ke lantai keras-keras dan pecah berserakan berkeping-keping, kamu malah tersenyum puas dan tertawa sekeras-kerasnya melihat tingkahku. Kepalaku semakin pening, lalu kupegangi kepalaku dengan tanganku yang penuh pecahan cermin. Aku terkejut dan berteriak ”Pergi…!!!, Pergi…!!! dari hadapanku semua”.

Aku semakin terpana saat kumelihat cermin yang berserakan di lantai memunculkan wajah-wajahku yang penuh kebohongan, kebahagiaan, keputusasaan, gairah, keangkuhan, dan keanggunan bergantian seolah-olah mempermainkanku.

Kepalaku semakin sakit saat kulihat tanganku yang penuh butiran cermin yang pecah bagai debu itu terus menampakkan wajah-wajah palsuku, dan membuatku semakin benci, muak seakan ingin kumuntahkan semua hal yang berisikan kenangan denganmu. Matamu berbinar-binar saat melihat kelakuanku yang tak karuan dan brutal-binal ini. Ingin rasanya kulepas seluruh pakaian dan kemudian kumutilasi seluruh kulitku yang pernah kau sentuh.

Aku terus berteriak-teriak mengumpatmu yang semakin tidak tahu apa arti sebuah penghargaan, kucoba untuk berlari menjauh tapi kau masih saja mengikutiku dan terus menertawaiku. Sampai akhirnya ku berhenti di tepian jurang yang sangat dalam dan kujatuhkan tubuhku dengan muka yang menyusur ke bawah agar pecah tak berbentuk hingga kau tak mengenaliku. Namun masih saja kau mengikuti gerakku, sampai akhirnya kuterbangun dari tidurku dan kulihat wajahku dengan cermin yang telah pecah berserakan di atas lantai kamarku. Terlihat kusut wajah asliku, kotor, kusam, dan penuh peluh yang menetes membanjiri mukaku, seraya bergumam, ”Apakah ini kenyataan ataukah mimpi yang nyata?” tanyaku pada cermin yang pecah berserakan di lantai.

Dan aku masih mendapatimu berdiri dibelakangku seraya berkata, ”Ku ingin dirimu yang seperti ini sayang” sambil kau tunjukkan cermin yang menggambarkan wajah-wajah penuh gairah, optimis, keanggunan, wibawa dan segala yang menyenangkan.

Jogja, 16 Juni 2005
(Sumber: kompas.com)